Yogyakarta - Satuan Reskrim Polresta Yogyakarta berhasil mengungkap praktik jual beli sertifikat vaksin Covid-19.
Dari ungkap itu, petugas mengamankan HA (27) yang merupakan pegawai honorer di Dinas Kesehatan Kalimantan Barat.
HA terungkap menjual sertifikat vaksin palsu dengan mematok harga dari Rp 300.000,- hingga Rp 800.000,-.
Kasus ini terungkap saat penyidik Tipidsus Satreskrim Polresta Yogyakarta melakukan patroli siber dan menemukan akun yang menjual jasa terkait PeduliLindungi.
Penjualan jasa seryifikat vaksin ini dilakukan melalui media sosial.
“Dari situlah kami melakukan penyelidikan di lapangan dan berhasil mengidentifikasi pelaku,” kata Kasat Reskrim AKP Archye Nevada, Rabu (22/2) saat konferensi pers.
Penyidik kemudian mendapatkan titik terang identitas pelaku. Polisi kemudian menyamar menjadi pelanggan dan langsung memburu ke Pontianak.
Pelaku akhirnya ditangkap di rumahnya tanpa perlawanan.
"Pelaku langsung mengakui perbuatannya kalau menjual jasa sertifikat vaksin," kata dia.
Pelaku melayani jasa pembuatan sertifikat vaksin palsu yang terkoneksi aplikasi PeduliLindungi tanpa harus vaksin terlebih dulu.
Pelaku leluasa melakukan aksinya karena dia bekerja di Dinas Kesehatan yang memiliki akses untuk input data.
Selain menangkap tersangka, petugas juga menyita barang bukti yang digunakan sebagai sarana kerja, seperti laptop untuk input data, kartu ATM menampung uang, dan handphone.
"Polisi masih terus mengembangkan dan melakukan pendalaman kasus tersebut," ujar dia.
Untuk mendapatkan jasanya, pelaku mematok tarif yang bervariasi. Untuk biaya vaksin dosis pertama dan kedua pelaku mematok harga Rp 300.000,- boster Rp 400.000,-.
Kemudian paket vaksin pertama dan kedua Rp 500.000,- sedangkan untuk paket lengkap tiga vaksin Rp800.000. Ide tersebut muncul berawal dari adanya masyarakat yang meminta untuk input data vaksinanasi.
"Karena keuntungan yang menggiurkan, pelaku akhirnya terus melakukan jasa tembak sertifikat vaksin,"terangnya.
Dari hasil pemeriksaan, setidaknya lebih dari 200 orang yang menggunakan jasa pelaku. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia karena dipasarkan melalui online.
Aksi ini sudah dilakukan sejak Juni 2022 dengan keuntungan mencapai Rp 40 juta.
"Uang saya deposito untuk biaya orang tua yang sedang sakit," katanya.
Pelaku dijerat Pasal 30 dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi Informasi Elektronik, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.