*Oleh: Hudit Wahyudi*

 *Pendahuluan* 
Ketika masyarakat merasa terganggu aktivitasnya dlm berdagang dan berusaha di suatu kawasan ekonomi baik itu pasar, tempat pelelangan ikan , sayuran dan hewan ternak dan lainnya maka saat itu ada gejala sosial yg membutuhkan kehadiran negara. Kehadiran negara bukan saja di kalangan masyarakat menengah ke bawah tapi juga dari kalangan menengah ke atas saat proyek-proyek nasional dan internasional terganggu oleh lembaga2 masyarakat sendiri, di mana lembaga sosial masyarakat (LSM) harusnya menjaga amanah utk kemaslahatan masyarakat umum, bukan justru menjadi bagian dari masalah.
Premanisme merupakan fenomena sosial yang kompleks dan multidimensi, mencerminkan akumulasi dari ketimpangan ekonomi, lemahnya supremasi hukum, serta struktur relasi sosial-politik yang timpang. Di berbagai wilayah Indonesia, praktik premanisme tidak hanya identik dengan kekerasan, pemalakan, dan intimidasi, tetapi juga berkelindan dengan organisasi masyarakat (ormas), ekonomi informal, dan bahkan politik elektoral. Fenomena ini terus berlangsung karena adanya sistem yang memungkinkan preman berperan sebagai aktor kekuasaan informal yang justru dibutuhkan oleh kelompok tertentu. Tulisan ini berusaha menjelaskan mengapa premanisme tumbuh subur melalui pendekatan teoritis dan multidisipliner.

 *Teori Ekonomi: Supply and Demand dalam Premanisme* 
Premanisme dapat dianalisis melalui logika supply and demand, di mana permintaan terhadap jasa preman (sebagai pengaman informal, debt collector, atau "pengatur wilayah") berasal dari pelaku ekonomi atau elite yang membutuhkan kontrol sosial non-formal. Dalam banyak kasus, pengusaha pasar, pemilik proyek, hingga elite politik membutuhkan jasa "keamanan" yang tidak bisa dipenuhi oleh negara secara efektif.
Di sisi lain, pasokan premanisme berasal dari kelompok masyarakat marjinal, pengangguran, dan individu dari latar belakang ekonomi lemah yang tidak memiliki akses terhadap pekerjaan formal. Ketika negara gagal menyediakan pekerjaan layak dan perlindungan sosial, ruang kekuasaan informal seperti premanisme menjadi alternatif sumber penghasilan dan identitas sosial.

 *Teori Patron-Klien: Pola Relasi Kekuasaan Asimetris* 
Menurut James C. Scott (1972), relasi patron-klien adalah ikatan antara dua pihak dalam posisi hierarkis dan tidak setara. Patron, sebagai pihak dengan status sosial-ekonomi lebih tinggi, memberikan perlindungan dan sumber daya, sedangkan klien membalas dengan loyalitas, dukungan, atau jasa tertentu—termasuk jasa kekerasan.
Preman dalam hal ini bertindak sebagai klien bagi para patron seperti elite politik, pengusaha, atau aparat keamanan. Mereka dijadikan alat untuk mengamankan suara pemilu, memaksa pengosongan lahan, atau menjaga aset bisnis. Hubungan ini menciptakan legitimasi informal atas kekuasaan preman, sehingga eksistensinya tidak hanya dibiarkan, tetapi seringkali dilindungi. Teori2 patron klien yg masih relevan dengan perkembangan masyarakat saat ini juga di sampaikan oleh Prof Parsudi Suparlan dan Prof Crisnanda DL dalam jurnal analisis hubungan patron- klien oleh Kausar (2011). Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yg secara etimologis berarti “seseorang yg memiliki kekuasaan (power), status, weeenang dan pengaruh.” Sedangkan Klien berati “bawahan” atau orang yg di perintah dan yg di suruh.

 *Teori Konflik Sosial* 
Fenomena premanisme merupakan salah satu bentuk kekerasan sosial yang tak kunjung surut dalam dinamika masyarakat Indonesia. Premanisme tidak hanya hadir sebagai tindak kriminal, tetapi juga sebagai gejala sosial yang berakar kuat dalam struktur relasi masyarakat. Untuk memahami mengapa premanisme dapat tumbuh dan mengakar, perlu dilakukan kajian melalui pendekatan teori konflik sosial.
Dalam kajian ilmu sosial, terdapat tiga teori konflik menonjol yang kerap digunakan untuk membaca ketimpangan dan gesekan sosial. Pertama, teori konflik Clifford Geertz tentang primordialisme, yakni konflik yang muncul dari ikatan identitas dasar seperti agama, etnisitas, atau kekerabatan. Kedua, teori konflik Karl Marx, yang memandang konflik sebagai pertentangan antara kelas-kelas sosial karena perebutan alat produksi. Ketiga, dan yang relevan dengan pembahasan ini, adalah teori konflik James C. Scott, yang menyoroti relasi antara patron (penguasa/pemilik kekuasaan) dan klien (pengikut/bawahan) dalam struktur sosial yang timpang.
Dalam kerangka teori konflik James Scott, preman dapat dipahami sebagai agen kekuasaan informal yang dipelihara oleh struktur sosial-ekonomi timpang. Ketimpangan ini menciptakan kebutuhan atas perlindungan, pekerjaan, atau akses yang tidak disediakan secara adil oleh negara, sehingga masyarakat atau kelompok tertentu mencari patron-patron informal—termasuk preman—untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam situasi ini, preman tidak hanya tumbuh karena peluang, tetapi juga karena kebutuhan struktural masyarakat bawah yang tidak tercukupi secara legal.

*Faktor -Faktor Berpengaruh*

 *Aspek Historis: Warisan dari Orde Baru dan Sebelumnya* 

Premanisme bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Sejak masa kolonial hingga Orde Baru, kekuasaan negara sering memanfaatkan kelompok non-negara untuk mengontrol masyarakat. Di masa Orde Baru, praktik "pemeliharaan preman oleh oknum aparat" adalah bagian dari strategi pengendalian keamanan dan stabilitas.
Setelah reformasi 1998, struktur kekuasaan menjadi lebih terbuka, tetapi fragmentasi kekuasaan dan otonomi daerah justru memperluas ruang bagi premanisme untuk berkembang di berbagai level kekuasaan lokal. Banyak ormas dan kelompok informal mengambil peran sebagai alat tekanan atau perlindungan atas nama agama, adat, atau ideologi tertentu.
Menurut Vedi Hadiz (2004), kondisi ini merupakan bagian dari oligarki pasca-Orde Baru, di mana kekuasaan tidak hanya dikendalikan oleh lembaga formal, tetapi juga oleh jejaring informal seperti preman dan ormas yang berbasis kekerasan. Ketimpangan dalam penerapan hukum menciptakan celah yang memungkinkan relasi patron-klien tetap subur dan premanisme tetap hidup meskipun bertentangan dengan regulasi formal.

 *Aspek Sosiologis: Ketimpangan dan Kebutuhan Akan Perlindungan* 

Secara sosiologis, premanisme tumbuh karena struktur masyarakat yang timpang dan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum. Masyarakat di akar rumput kadang lebih memilih "minta tolong preman" dibanding melapor ke polisi karena dianggap lebih cepat dan efektif.
Preman hadir sebagai simbol "ketertiban lokal", terutama di wilayah-wilayah dengan kelemahan fungsi negara. Di pasar, terminal, atau proyek, keberadaan preman adalah bentuk institusi informal yang menyelesaikan masalah dengan pendekatan koersif.

 *Aspek Kultural: Maskulinitas dan Romantisasi Preman* 

Budaya populer di Indonesia sering meromantisasi sosok preman sebagai "jagoan", "pelindung kampung", atau bahkan "pahlawan lokal". Dalam banyak film, sinetron, atau cerita rakyat urban, preman digambarkan sebagai orang kuat yang melawan ketidakadilan dengan caranya sendiri.
Kultur maskulinitas ini memperkuat keberadaan premanisme sebagai bagian dari identitas, terutama bagi kaum muda dari kelompok marginal. Nilai kekuatan fisik, keberanian, dan solidaritas kelompok menjadi identitas alternatif saat akses terhadap mobilitas sosial formal tertutup.

 *Peran Kelembagaan: Kelemahan Negara dan Ambiguitas UU Ormas* 

Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, negara Indonesia telah mengatur secara tegas keberadaan organisasi kemasyarakatan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang kemudian diperkuat melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dan disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017. Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap ormas wajib menjunjung tinggi ideologi Pancasila, menghormati konstitusi, serta tidak melakukan tindakan kekerasan, separatisme, atau kegiatan yang meresahkan masyarakat (Pasal 59 ayat 3 dan 4).
Pasal 59 ayat (3) UU 17/2013 secara eksplisit melarang ormas melakukan tindakan:
1. penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan (huruf d),
2. kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum (huruf f),
3. kegiatan yang meresahkan masyarakat (huruf g).
Namun, implementasi UU ini sangat lemah. Banyak ormas yang bertindak seperti kelompok preman dengan kedok keagamaan, etnis, atau nasionalisme. Fenomena “ormas berwatak preman” ini semakin rumit ketika mereka memiliki patron yang kuat di dunia politik atau aparat keamanan. Lemahnya penindakan terhadap ormas-ormas yang melakukan kekerasan menunjukkan adanya ambiguitas kelembagaan, di mana hukum formal berbenturan dengan praktik patronase politik.
Namun, dalam praktiknya, banyak ormas atau kelompok yang mengklaim sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" justru bertindak sebagai pelaku kekerasan atau premanisme terselubung. Beberapa di antaranya berperan sebagai agen informal kekuasaan, dengan menggunakan identitas keagamaan, etnis, atau nasionalisme untuk melindungi kepentingan patron-patron politik atau ekonomi. 

 *Upaya Sistematis: Penanganan Multi-aktor dan Multi-level* 

Mengatasi premanisme tidak bisa dilakukan hanya melalui pendekatan represif. Dibutuhkan upaya sistematis yang mencakup:
1. Penegakan hukum yang konsisten dan tanpa tebang pilih terhadap ormas dan kelompok preman.
2. Reformasi kelembagaan khususnya kepolisian dan aparat keamanan lainnya agar tidak bersimbiosis dengan kekuasaan informal.
3. Penciptaan lapangan kerja produktif dan inklusif, terutama bagi kelompok rentan dan pemuda.
4. Edukasi budaya hukum dan kewarganegaraan untuk membangun kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
5. Penguatan pengawasan sipil dan media terhadap aktivitas kekerasan oleh ormas berkedok sosial.

 *Penutup* 
Tulisan ini terinspirasi oleh situasi dan kondisi bangsa Mongolia ketika penulis saat ini di tulis masih berada di Ullaanbaatar Mongolia. Mongolia dahulu terkenal sebagai bangsa bar bar dan nomaden. Kaisar Chinggis Khaan berikut penerus khaan lainnya sangat berpengaruh thd pola budaya dan karakter bangsa Mongol pada jamannya. Sekarang bangsa ini sangat beradab dan menjadi bangsa yg memiliki pemerintahan demokratis dg sedikit angka premanisme dan kejahatan. Perubahan budaya masyarakat di mana pun akan sangat tergantung pada kemauan masyarakat dan pemimpinnya baik di komunitas terkecil sampai dengan yg terbesar.

Premanisme tidak sekadar gejala kriminal, tetapi bagian dari struktur relasi kekuasaan yang dilanggengkan melalui mekanisme patron-klien. Selain itu, premanisme juga wujud ketimpangan struktural, lemahnya negara, dan relasi kuasa informal yang dilembagakan.
 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas sejatinya telah menyediakan dasar hukum untuk membubarkan dan menindak ormas yang melakukan kekerasan atau meresahkan. Namun, lemahnya penegakan hukum serta kompromi politik dalam struktur kekuasaan membuat hukum tersebut tidak berjalan efektif. Selama kekuasaan informal tetap menjadi instrumen kekuatan politik dan ekonomi, maka premanisme akan tetap menemukan ruang untuk hidup, bahkan di bawah payung legalitas organisasi kemasyarakatan.
Melalui kacamata teori patron-klien James Scott, praktik ini adalah bagian dari sistem kekuasaan yang berjalan paralel dengan negara formal. Ketidaktegasan negara dalam menegakkan UU Ormas serta dominasi kekuatan informal dalam politik lokal menjadikan premanisme tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. 
Premanisme bukan sekadar tindakan kriminal individual, tetapi bagian dari jaringan sosial-politik yang kompleks, di mana kekuasaan, ekonomi, dan ketimpangan bersatu dalam relasi yang bersifat transaksional dan hierarkis. Selama relasi patron-klien ini tetap menjadi pola dominan dalam kehidupan sosial-politik Indonesia, maka premanisme akan terus menemukan ruang untuk berkembang. Oleh karena itu, diperlukan intervensi kebijakan yang lebih menyeluruh, lintas sektoral, dan berbasis pada keadilan sosial.

Ulaanbaatar ,22 Juni 2025

Penulis : Irjen Pol.Drs. Hudit Wahyudi, MHum.,MSi
Lebih baru Lebih lama